Bekisar Merah karya Ahmad Tohari-Jurnal Buku


Judul : Bekisar Merah
Pengarang : Ahmad Tohari
Tahun : Cetakan ketiga: April 2016
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku : 360 Halaman
ISBN : 978-979-22-6632-0

Bekisar Merah adalah salah satu novel karya Ahmad Tohari. Ahmad Tohari dilahirkan di Desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Banyuwas, pada tanggal 13 Juni 1948. Pendidikan formalnya sampai SMTA di SMAN II, Purwokerto. Dia pernah bekerja di BNI 1946 sebagai tenaga honorer yang mengurusi majalah perbankan (1966-1967), majalah Keluarga (1978-1981), dan menjabat sebagai dewan redaksi majalah Amanah (Agustus 1986-Maret 1993). Pada tahun 1990 Ahmad Tohari mengikuti International Writing Program di Amerika selama tiga bulan.

Ahmad Tohari tidak pernah melepaskan diri dari pengalaman hidup kedesaannya. Maka warna hampir semua karyanya adalah lapisan bawah dengan latar alam. Dia memiliki kesadaran dan wawasan alam yang begitu jelas terlihat pada tulisan-tulisannya. Bahkan saat ini, trilogi: Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari-Jantera Bianglala sudah terbit dalam edisi Jepang.

Novel Bekisar Merah menceritakan perjalanan hidup Lasi, anak desa yang berayah Jepang dan memiliki kecantikan khas yang membawa dirinya menjadi bekisar di kehidupan yang selalu menertawakan nasibnya. Bekisar sendiri adalah unggas elok hasil kawin silang antara ayam hutan hijau jantan (Gallus varius) dan ayam kampung/ayam buras betina (Gallus gallus domesticus) yang sering menjadi hiasan rumah orang-orang kaya. Ayam ini merupakan fauna maskot Provinsi Jawa Timur yang berasal dari Pulau Kangean, Kabupaten Sumenep.

Lasi tumbuh menjadi wanita tercantik di Karangsoga. Karangsoga adalah sebuah desa dimana mayoritas masyarakatnya berprofesi sebagai petani nira atau pohon kelapa. Kecantikan Lasi menjadikan ia dipuja juga dihina sepanjang hidupnya. Masa kecil Lasiyah, anak-anak selalu meledeknya dengan sebutan “Lasipah” atau anak haram keturunan Jepang. Lasi hanya bisa berharap olokan-olokan ini akan berakhir saat ia dewasa dan menikah nantinya. Namun semua kemalangan ini berlanjut di kehidupan rumah tangganya. Darsa suaminya adalah seorang penyadap nira yang ulet dan pekerja keras. Kehidupan mereka selalu serba kekurangan dan apa adanya. Suatu ketika Darsa ditemukan telah meniduri Sipah, anak Bunek si tukang urut. Hati Lasi hancur seketika. Ia pun memutuskan minggat ikut Pardi mengantar dagangan ke kota.

Sebuah keputusan yang nekat bagi seorang wanita desa bepergian sejauh itu. Lasi hanyalah berbekal emosi untuk minggat sejauh-jauhnya dari Karangsoga dan suaminya. Pardi membawa Lasi ke tempat Bu Koneng. Seorang pemilik warung, pacar Pardi di kota. Atas bujukan maut Bu Koneng dan karena terdesak emosinya terhadap Darsa, Lasi pun mengiyakan ajakan Bu Koneng untuk sementara tinggal di Jakarta. Perawakan semampai dan wajah Lasi yang cantik membuat seorang mucikari tertarik padanya. Pada suatu hari, Bu Lanting menyampaikan niatnya untuk membawa Lasi kepada Bu Koneng. Dengan uang, semua masalahpun beres. Bu Koneng dengan dibekali mulut manisnya berhasil merayu Lasi agar mau tinggal di rumah Bu Lanting.

Kehidupan kota adalah sesuatu yang baru bagi Lasi. Lasi dipermak sedemikian rupa oleh Bu Lanting selayaknya Naroko, artis terkenal asal Jepang. Lasi yang polos hanya nurut saja diberlakukan manis oleh Bu Lanting. Semakin lama Lasi pun menikmati segala kemewahan yang ditawarkan secara percuma oleh Bu Lanting. Hingga akhirnya, Bu Lanting menjebak Lasi dengan pernikahannya bersama Pak Handarbeni, seorang direktur berusia 60 tahun.

Di lain sisi, ada Kanjat teman sebaya Lasi yang kini telah tumbuh dewasa dan menjadi seorang insinyur muda. Kembalinya Kanjat membuat hati Lasi gundah. Kenangan masa kecil dulu kembali berputar. Namun Lasi tidak memiliki pilihan lagi. Kini ia harus membayar semua utang budinya kepada Bu Lanting.

Pernikahan itu dijalani Lasi dengan sepenuh hati. Pak Handarbeni memenuhi seluruh kebutuhannya. Namun satu hal, suaminya itu tidak lagi seperkasa dulu. Ditambah lagi kini muncul Bambung seorang belantik yang ingin memliki Lasi. Nasib Lasi kini selayaknya bekisar merah. Cantik nan anggun namun terkurung dalam kandang orang-orang kaya itu.

Menurut saya novel ini sangat menarik. Dalam novel ini mengkritik keras tentang kesenjangan sosial yang dialami oleh para penyadap nira. Kehidupan mereka yang menantang maut tidak dihargai sepenuhnya dengan timbangan yang sering dimainkan oleh mereka yang berkuasa. Sehingga para petani kelapa hanya mendapat keuntungan yang di bawah rata-rata. Seringkali tanpa kita sadari, hal-hal semacam ini masih sering terjadi di lingkungan kita. Para pedagang yang curang memanipulasi timbangan agar harganya melonjak, juga pemerintah yang memakan rakyat.

Di lain sisi, novel ini juga menyoroti perdagangan seksual yang seringkali terjadi di kota-kota besar. Tawaran keindahan kehidupan kota, kebutuhan yang pasti tercukupi mampu membuat gadis-gadis polos desa luluh. Semua masih tentang uang. Manusia bisa membeli apapun di dunia ini, bahkan harga sekalipun. Harga diri selayaknya barang yang dapat dengan mudah digadaikan. Pelacuran di kota-kota besar sekarang menjadi masalah yang sangat mengerikan. Penyebaran penyakit menular yang semakin tak terkendali berkat jasa pelacuran yang berdiri dengan mudah di kota. Oleh karena itu, pemerintah dan masyarakat harus sadar sepenuhnya untuk memberantas masalah ini. 

Keunggulan utama dari novel Bekisar Merah adalah penjelasan tentang latar tempat yang begitu detail. Ahmad Tohari mengambil alam pedesaan sebagai latar utamanya. Ia memiliki kesadaran dan wawasan alam yang luas terlihat dari tulisannya.

Oleh karena itu, Bekisar Merah sangat direkomendasikan untuk menjadi bahan bacaan. Karena di dalammya mengandung pesan moral yang bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari yang disajikan dengan alur cerita yang tidak membosankan. Ahmad Tohari mampu membuka mata kita tentang keadaan lingkungan masyarakat yang telah banyak berubah atas perkembangan zaman.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Badai Sepanjang Malam karya Max Arifin-Drama

Dadaisme karya Dewi Sartika-Resensi Buku

Membaca Sastra Bangsal Sri Mangasti karya Suminto A. Sayuti